Penulis: Nadya Damara
Kota: Surabaya
Interests : Photography, Movies, Music, Books, and BlackBerry!
Twitter: @nadiadputri
Web/blog: nadiadputri.blogspot.com
Hujan deras membasahi kota Bakersfield, kota kecil yang berjarak kurang lebih 3 jam dari Los Angeles. Hari itu kabut tebal menyelimuti kota itu. Mungkin akan terjadi badai, ya… pikirku. Pertengahan musim gugur di Bakersfield memang sering terjadi badai. Tapi itu biasanya hanya terjadi selama kurang lebih sepuluh menit. Dan sangat jarang badai itu menimbulkan kerusakan yang berarti.
Aku menyetir menuju Hometown Dinner. Tempat SMA West Danton akan menyelenggarakan reuni akbar. Karena suara hujan begitu menggangguku, kuputuskan untuk menyalakan radio mobilku.
And life is a road
that I want to keep going
Love is a river
I wanna keep flowing
Life is a road
now and forever
wonderful journey
At The Beginning. Lagu favoritku. Seraya lagu itu mengalun, pikiranku kembali ke empat tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di bangku kelas tiga SMA.
“Hai! Ngapain kamu sendirian di sini?” tanyaku.
“Tidak apa-apa.” jawab laki-laki itu singkat.
Aku kemari karena tertarik oleh ekspresi laki-laki itu. Ekspresinya menunjukkan sesuatu yang tidak bisa dimengerti. Aneh. Tapi selain itu, tanpa aku sadari, aku terpesona oleh penampilan laki-laki itu.
Daniel Liandu. Laki-laki keturunan Asia – mungkin Cina atau Jepang, pikirku – tapi memiliki bola mata abu-abu cerah. Aku heran dari mana Daniel mendapatkan sepasang bola mata yang – menurutku – sangat indah itu. Dari dulu, aku selalu mendambakan perawakan orang Kaukasia yang memiliki bola mata yang berwarna-warni. Tidak cokelat seperti milikku.
“Ekspresimu… seram, tahu!” ucapku sambil duduk di sebelahnya. “Aku sarankan kamu jangan memasang ekspresi seperti itu saat perkenalan di kelas nanti. Bisa-bisa kamu tidak punya teman, loh!”
“Apa urusanmu di sini?” tanyanya dingin. Tanpa menoleh ke arahku.
Aku hanya mengangkat bahu. “Tidak tahu. Mungkin aku tertarik olehmu… oleh ekspresimu. Dan bola matamu.”
Daniel tersenyum sinis. Tapi bagiku, itu malah membuatnya terlihat semakin sempurna. Tak diduga ternyata wajah Daniel begitu tampan.
“Well, kalau itu yang membuatmu tertarik padaku, lebih baik kamu segera pergi. Aku tidak tertarik pada perempuan sepertimu.”
“Perempuan seperti apa?”
“Sepertimu.”
“Aku seperti apa memangnya?”
“Orang yang menilai hanya dari luarnya saja. Tertarik oleh bola mataku…” pikiran Daniel melayang. “Kukatakan satu hal. if you like or even love someone because their physical looks, what will you do when it’s gone? Removing them from your life?”
“Apa itu pengalaman pribadi? Karena apa yang barusan kamu katakana adalah pemikiran orang yang menilai orang lain dari luarnya saja. Kau tidak mengenalku.” sambil berkata begitu, aku beranjak pergi.
“Orang itu menyebalkan. Sangat menyebalkan lebih tepatnya. Apa pula yang ia maksud dengan perempuan sepertiku? Huh. Aku menyesal telah mengajaknya berbicara!” gerutuku sambil berjalan ke kelas drama.
“Hey, Alyssa! Kenapa wajahmu itu? Kalau wajahmu kusut seperti itu, aku yakin Stephen akan ragu mendekatimu.” sapa Viola, teman baikku.
“Dengar, Viola sayang, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling menyebalkan se-SMA West Danton!” seruku sebal.
“Hahaha. Kau baru saja bertemu dengan Mikaela? Atau Jeremy?”
“Tidak. Lebih parah dari mereka. Murid baru. Dia mulai masuk ke sini beberapa hari lalu. Tapi ia baru hari ini memulai kelasnya. And just so you know, aku tahu informasi ini dari Mrs. Jen. Bukan karena aku mencari informasi tentangnya atau apa.”
“Ah! Aku tahu! Daniel something itu kan? Dia terkenal loh. Murid pindahan dari Shanghai. Katanya ia sangat pintar. Ia pindah ke sini karena ibunya menikah lagi dengan warga sini. Mr. Gorgon itu loh…” jelas Viola panjang lebar.
Aku mengangguk. Lalu tanpa sengaja, aku menangkap bayangan laki-laki tinggi menyebalkan itu. Awas saja si Daniel itu. Aku sebagai school committee tidak akan mau membantunya!
“Alyssa! Lihat apa yang aku bawa untukmu!” teriak seorang laki-laki dari belakang. Stephen. Kapten tim futbal. Tampan, dan pintar. Idaman setiap siswi West Danton.
“The prince charming is coming…” seru Viola dengan nada melebih-lebihkan. “Lys, lebih baik kamu jangan memikirkan Daniel itu. Nanti kamu naksir padanya!” kata Viola jahil yang kemudian aku balas dengan cubitan kecil yang membuatnya menjerit tanpa suara.
“Tadaaaaa… aku membelikanmu ini. Aku dengar dari Viola kalau kau menginginkannya.” kata Stephen sambil menunjukkan sebuah buku lama berjudul Love, As It Goes Away karya Jason Belford.
“Violaaa! Kapan kamu akan berhenti melaporkan setiap buku yang aku inginkan pada Stephen??” gerutuku.
“Bukan salah Viola, Lys. Aku mendengar sendiri ketika kamu bercerita padanya minggu lalu. Lagipula, buku ini kutemukan di toko buku bekas. Harganya juga murah. Jadi it’s nothing…”
“Ya sudahlah. Terima kasih, Stephen. Lain kali kalau kau perlu sesuatu, bilang saja padaku.” ucapku tulus.
“Kalau aku menginginkan jawaban atas pernyataan cintaku, bisakah aku mendapatkannya?” tanyanya setengah bercanda.
“Bisa saja…” jawabku. “It’s a yes.”
“Wah, benarkah? Terima kasih, Alyssa Montez. I promise to love you every minute of forever!” kata Stephen sambil mencium bibirku.
“Dasar kau, Raja Menggombal! You quoted it from Twilight, did you?”
Stephen tertawa kecil. “Aku tahu kau mengidolakan vampir bersinar itu. Dan mungkin aku bisa jadi your very own Edward Cullen. Bagaimana?”
“Hahaha. Kamu bahkan tidak mirip sama sekali dengan Edward, Stephen!” tawaku meledak mendengar ucapan gombal pacar baruku.
“Oke, hentikan percakapan kalian. Aku sudah cukup lama menjadi kambing congek di sini. Dan aku tidak mau itu berlangsung lebih lama lagi.” gerutu Viola. “Ayo, Lys. Ucapkan selamat tinggal ke pacar barumu yang norak itu. Kelas drama menunggu kita!”
Aku tertawa kecil.
“Bye, Lys!”
Itu adalah kali terakhir aku bertemu Stephen. Perpisahan pertamaku sebagai pacarnya, sekaligus yang terakhir. Kejadian berikutnya sungguh tidak terduga. Ia berlatih futbol seperti biasa, dan aku di kelas drama bersama Viola, berlatih untuk pentas saat Prom.
Terdengar suara tembakan dari arah lapangan futbol. Para murid langsung berhambur keluar tanpa memedulikan siapa yang sedang mengajar mereka. Aku dan Viola-pun demikian. Tidak peduli Mrs. Jen meneriaki kami untuk kembali ke kelas.
Di lapangan, aku melihat rumput yang telah ternoda darah. Darah segar. Darah itu berasal dari kepala Stephen. Dan di sebelahnya tampak orang asing yang berpakaian serba hitam membawa sebuah pistol.
Aku terlalu syok untuk berpikir. Tapi aku yakin aku mendengar beberapa kata seperti pencuri, penjahat, polisi, salah sasaran, dan Stephen McQuay. Setelah itu, aku tidak mendengar apa-apa lagi. Duniaku menjadi hitam. Begitu aku sadar, aku sudah berada di pemakaman Stephen.
Pikiranku kembali karena bunyi klakson berkali-kali. Karena hujan begitu lebat, aku tidak bisa melihat dari mana asal bunyi itu. Dan saat aku mulai menangkap bayangan sebuah truk, semuanya terlambat. Mobilku menghantam truk itu. Dan lagi-lagi semuanya menjadi gelap.
Well, tell me whether it is good or bad. :)
Thank you!
Posted by
New Sp Club